Karakter Morfologi Jahe-Jahean (Zingiberaceae)

Oleh: Nurainas, FMIPA Unand

Jahe-jahean (Zingiberaceae) merupakan tumbuh-tumbuhan herba perennial yang umumnya memiliki umbi rimpang atau batang merambat, terkadang epifit; daun lanseolatus, umumnya memiliki pelepah, tersusun secara berhadapan sejajar atau spiral, pertulangan menyirip, dengan vena yang sangat rapat. Peranthium tersusun pada dua lingkaran. Bunga irregular, bisexual, biasanya berupa bunga majemuk, mempunyai bractea. Segmen periantium 6; bagian luar seperti tabung, seperti kelopak; bagian dalam seperti mahkota. Stamen fertile ada satu dan stamen steril (“labellum”) ada satu, seperti petal; kadang lebih dari satu, pada beberapa kasus terkadang ditemukan bagian dari stamen lateralnya seperti petal atau berbentuk benang. Ovary inferior, tiga-locule; ovule banyak pada masing-masing locule; stylus satu, saling lepas. Buah seperti berry dengan sedikit biji atau berupa buah capsule loculicidal (Lawrence, 1964 dan Annonim, 2006).

Rimpang (“Rhizome”); biasanya berdaging, sympodial, masing-masing bagian dari percabangan berakhir pada pelapah daun yang tegak, atau terkadang hanya pada kuncup bunga; bagian rimpang yang horizontal terdapat sisik daun (“scale-leaves”). Pelepah (“Vagina”): pendek atau panjang (sampai sekitar 5 m atau lebih), mempunyai 1 atau banyak daun yang tersusun secara distichous atau spiral; jika pelepahnya banyak, maka bagian utama dari batang biasanya terbentuk dari pelepah yang saling berhimpitan. Daun: daun sangat bervariasi pada ukuran, bentuknya umumnya elip sampai elip-oblong, asymmetris atau symetris, dengan atau tanpa petiole yang terletak antara lembaran daun atau pelepah. Perbungaan (“Inflorescence”): umumnya terminal atau pada ketiak daun atau pada bagian tunas terpisah, yang tumbuh dari pangkal tunas daun atau dari rimpang. Bunga tersusun pada cincinus dalam bractea utama, atau tunggal pada ketiak bractea utama, dengan atau tanpa secondary bractea; sebuah involucrum bractes steril kadang ditemukan. Bunga: bertahan 1 hari atau kurang. Calix bulat, biasanya 3-lobus, kadang membelah agak dalam hanya pada satu sisi. Corolla tube biasanya bulat lansing seringnya lebih panjang dari pada calyx, kadang melebar arah ke ujung, mempunyai 3 lobus; lobusnya sub-equal atau lebih sering bagian dorsal lebih besar dari pada bagian lateral; dorsal lobus selalu saling berhimpitan pada waktu masih kuncup, bagian ujungnya kadang cekung, terselubung atau mempunyai spur (taji). Labellum melekat ke corolla tube, biasanya, tetapi tidak selalu bagian organ terbesar pada bunga, entire, banyak atau sedikit berlobus 2 (bolibes) yang dalam, atau terkadang trilobed (tidak pernah trilobe yang dalam kecuali pada Zingiber, yang mana lateral lobe dibentuk oleh penyatuan staminodea). Dua staminodea pada lingkaran luar, pada masing-masing sisi pangkal lobus corolla, hampir selalu ditemukan petaloid structure yang melekat ke corolla tube, atau sebagai gigi yang rudimenter; pada Zingiber panyatuan labelum pada pangkal; pada Goecharis menyatu ke filament kecuali ujungnya merekah bebas; pada Costus benar-benar menyatu ke labellum juga terlihat pada individu yang mati. Satu stamen pada lingkaran luar, pada radius yang sama dengan pangkal corolla tube, fertile; filament menyatu ke tabung bunga pada pangkalnya, kadang menyatu ke labellum atau kadang di atas atau staminodea menyisip ke corolla lobus, pendek atau panjang, lebar atau menyempit; anthera bagian dorsal menyatu yang mana bagian lateral memanjang menjadi sebuah lamina atau appendage (appendix/tambahan); dan/atau bagian apical menjadi kepal petaloid kecil arau bear dan berdaging; pollen-sac biasanya pecah secara longitudinal tetapi kadang dengan apical pore, kadang dengan pelbaran pangkal atau taji yang menyatu atau bebas. Stylus bulat ramping, mengarah ke atas dekat filament dan di antara pollen-sac, yang mana dari perkebangan tersebut dia mendapatkan posisi pegangan, stigma lebih banyak bagian ke ujung pollen sac. Stigma biasanya melengkung dengan sebuah pinggir lekukan oleh rambut-rambut. Ovary inferior, unilocular dengan placenta parietal, atau trilocular dengan placenta axile atau denagn ovule yang menyatu ke septa, atau unilocular denagn lacenta basal atau tegak dari pangkal. Nectar-gland (stylodes) salah satunya sisinya tegak tumbuh ke luar dengan pangkal tabung bunga, pada sisi stylus yang lainnya, atau pada Costus antar septal kelejar menyatu ke tabung bunga oleh dua ruang. Buah: merupakan buah kering capsule atau berry berdaging dengan ketebalan dinding bervariasi, jika tua pecahnya secara irregular. Biji biasanya dengan arilus; arilus menutupi biji seluruhnya atau sebagian atau terkoyak-koyak, atau menumpukan saja; perisperm kadang-kadang ada sama dengan endosperm (Holttum, 1950)

Dalam pengamatan karakter morfologi jahe-jahean (Zingiberaceae), pada umumnya para taksonomis Zingiberaceae setuju bahwa kajian dengan menggunakan material segar lebih baik jika dibandingkan dengan specimen kering. Deskripsi dan ukuran jika dikombinasikan dengan foto dari tumbuhan hidup akan membuat data lebih akurat dan bermanfaat bagi peneliti. Bahkan beberapa specimen herbarium tua yang disimpan di beberapa herbarium tidak mempunyai bunga dan terkadang tidak cukup atau tidak bisa diamati lagi (Larsen, 1999).
Read more

Taksonomi dan Distribusi Jahe-Jahean (Zingiberaceae)

Oleh: Nurainas, FMIPA Unand

Famili jahe-jahean (Zingiberaceae) merupakan salah satu kelompok tumbuhan yang telah kita ketahui memiliki banyak manfaat. Tidak hanya sebagai tanaman obat, jahe-jahean juga merupakan sumber penghasil minyak esensial, tanaman industri dan bahan bumbu. Tiga jenis di antaranya yang telah umum untuk dibudidayakan dan diperdagangkan yaitu jahe (Zingiber officinale), kapulaga atau gardamunggu (Elatteria cardamomum) dan kunyit (Curcuma domestica).

Pada umumnya jahe-jahean berupa tumbuhan terrestrial yang tumbuh di hutan tropis, didapati pada dataran rendah di hutan-hutan pebukitan pada ketinggian 200-500 m dpl. Jahe-jahean umumnya menyenangi habitat berupa tempat-tempat lembab. Beberapa jenisnya juga ditemukan di hutan yang terbuka, hutan sekunder, rawa-rawa, pinggir sungai dan kadang juga dapat tumbuh di daerah terbuka dengan cahaya matahari penuh. Beberapa jenis Etlingera tumbuh di lokasi hutan yang baru terbuka atau hutan sekunder dan bisa tumbuh dengan cepat seperti gulma. Beberapa di antaranya bahkan bisa digunakan sebagai indikator kerusakan habitat (Larsen et al, 1999; Sirirugsa, 1998).

Nama Zingiber mungkin berasal dari bahasa Arab “zanjabil” yang dalam bahasa sangskerta menjadi “singabera” dan dalam bahasa Yunani menjadi “zingiberi”. Ini kemudian dilatinkan menjadi “zingiber”. Secara botani, Zingiber menjadi penunjuk nama untuk semua family Jahe-jahean (Zingiberaceae). Sebenarnya kata “zingiber” mengacu pada jahe yang diperdagangkan, yang dalam bahasa Melayu dikenal dengan “halia” dan nama ilmiah Zingiber officinale (Larsen et al., 1999).

Zingiberaceae merupakan salah satu famili dari Ordo Zingiberales, kelas Monocotyledoneae dan Sub Divisio Angiospermae (Keng, 1978). Ordo Zingiberales memiliki 4 famili yakni Zingiberaceae, Cannaceceae, Musaceae dan Marantaceae (Tjitrosoepomo, 1988). Dua famili dengan jumlah jenis tertinggi yaitu Zingiberaceae dan Marantaceae. Untuk Marantaceae, pusat keanekaragamannya berada di daerah tropis America sedangkan Zingiberaceae banyak tersebar di daerah tropis Asia. Asia Tenggara adalah pusat distribusi di tropis Asia. Sebagian besar genusnya terkonsentrasi pada wilayah Malesia (Indonesia, Malaysia, Singapore, Filipina, Brunei, dan Papua New Guinea). Indonesia memiliki jumlah jenis terbesar dibanding daerah Asia lainnya, yaitu 24 marga dengan 600 jenis (Sirirugsa, 1998; Larsen et al.1999).

Pendapat mengenai jumlah jenis yang sudah diketahui sangat bervariasi sampai saat ini. Menurut Lawrence (1964) Zingiberaceae mempunyai 47 genera dengan 1400 spesies yang tersebar di sepanjang daerah tropis dan subtropis. Keng (1978) melaporkan sekitar 50 marga telah tercatat sepanjang daerah tropis dan temperata. Lebih dari 20 marganya merupakan tumbuhan asli dari Malaya. Tjitrosoepomo (1988) menuliskan bahwa sekitar 1400 jenis dari 40 marga telah ditemukan di dunia dan sebagian besarnya terdapat di daerah tropis. Sirirugsa (1998) melaporkan bahwa secara total terdapat 52 genera dengan 1,500 jenis di dunia; Malesia 25 genera dengan 650 jenis; Cina 21 genera dengan 200 jenis; Thailand 20 genera dengan 200 jenis; India 18 genera dengan 120 jenis; Filipina 15 genera 103 jenis; Indochina 14 genera 120 jenis; Nepal 11 genera dengan 35 jenis. Larsen, et al (1999) melaporkan terdapat 1200 jenis di Malay Peninsula, dan 1000 jenis di antaranya terdapat di daerah Tropis Asia. Region Malesia, termasuk di dalamnya Indonesia memiliki jumlah jenis terbesar bila dibandingkan dengan daerah Asia lainnya.
Read more

Efektivitas Cendawan Mikoriza Arbuskular dan Pupuk Konsorsium Mikroba thd Pertumbuhan dan Produksi Kacang Koro Pedang (Canavalia ensiformis)

Tugas Akhir / Skripsi Biologi
Disusun oleh: Arnis Muslifa
Program Sarjana Universitas Airlangga
Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi

Intisari:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan efektivitas pemberian CMA, pupuk konsorsium mikroba dan kombinasi keduanya dengan konsentrasi berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kacang koro pedang (Canavalia ensiformis). Penelitian ini dilakukan di lahan pertanian Gunung Anyar, Surabaya. Parameter pertumbuhan meliputi tinggi tanaman, panjang akar, biomassa batang dan daun, biomassa akar dan berat bintil akar. Sedangkan parameter produksi meliputi berat polong per tanaman dan berat kering biji per tanaman. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap dan uji faktorial (3x3), 3 macam konsentrasi CMA (0, 20 g, 30 g), dan 3 macam konsentrasi pupuk konsorsium mikroba (0, 20 ml, 30 ml), masing-masing perlakuan dengan 5 replikasi. Data dianalisis dengan menggunakan ANAVA jika ada beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian CMA, pupuk konsorsium mikroba serta kombinasinya berbeda nyata (α < 0,05) terhadap pertumbuhan dan produksi kacang koro. Pemberian CMA 30 gr memberikan hasil tertinggi , tinggi tanaman (109 ± 8,27 cm), panjang akar (5,2 ± 9,08 cm) dan berat bintil akar (5,29 ± 0,60 g) dan CMA 20 g memberikan hasil tertinggi pada biomassa batang dan daun (273,40 ± 51,69 g), berat polong (387,60 ± 41,45 g) dan berat kering biji (152 ± 48,16 g). Pemberian pupuk konsorsium mikroba 20 ml memberikan hasil tertinggi pada tinggi tanaman (117, ± 10,54 cm), panjang akar (55,2 ± 3,70 cm), pupuk konsorsium mikroba 30 ml memberikan hasil tertinggi pada biomassa batang dan daun (346,80 ± 75,90 g), berat bintil akar (7,86 ± 2,51 g), berat polong (700 ± 154,11 g) dan berat kering biji (188 ± 53,57 g). Kombinasi CMA 20 g dan pupuk konsorsium mikroba 20 ml memberikan hasil tertinggi pada tinggi tanaman (107 ± 4,24 cm), biomassa batang dan daun (248,60 ± 73,70 g), biomassa akar (27,20 ± 7,04 g), berat bintil akar (8,64 ± 0,69 g), berat polong (460 ± 163,55 g) dan berat kering biji (154,80 ± 11,40 g) dan kombinasi CMA 20 g dan pupuk konsorsium mikroba 30 ml memberikan hasil tertinggi pada panjang akar (54,10 ± 4,21 cm). Pemberian CMA dan pupuk konsorsium mikroba berpengaruh meningkatkan pertumbuhan dan produksi kacang koro pedang. CMA 30 g, pupuk konsorsium mikroba 20 ml dan kombinasi antara CMA 30 g dan pupuk konsorsium mikroba 20 ml memberikan efektivitas tertinggi dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi kacang koro pedang.
Read more

Imunisasi Fraksi Protein Membran Spermatozoa Kelinci thd Pembentukan Antibodi pada Mencit

Tugas Akhir / Skripsi Biologi
Disusun oleh: Hesti E. Herawati
Program Sarjana Universitas Airlangga
Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi

Intisari:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh imunisasi fraksi protein membran spermatozoa kelinci dan pengaruh berat molekul yang berbeda terhadap pembentukan antibodi mencit. Protein membran spermatozoa kelinci dipisahkan berdasarkan berat molekul dengan metode elektroforesis SDS-PAGE, pita hasil elektroforesis dipotong pada berat molekul 45,6 kDa, 65,8 kDa dan 73,4 kDa kemudian dielektroelusi hingga diperoleh larutan fraksi protein yang digunakan sebagai antigen. Dua puluh empat ekor mencit betina yang berumur 8-10 minggu dengan berat 20-30 gram dibagi menjadi empat kelompok, kelompok kontrol, kelompok P1 diimunisasi antigen protein membran spermatozoa kelinci 45,6 kDa, kelompok P2 diimunisasi antigen protein membran spermatozoa kelinci 65,8 kDa dan kelompok P3 diimunisasi antigen protein membran spermatozoa kelinci 73,4 kDa. Dosis antigen 20 µg/µl. Imunisasi dilakukan sebanyak empat kali. Imunisasi I pada hari ke-0 antigen dalam FCA. Imunisasi II pada hari ke-14 menggunakan antigen protein membran spermatozoa kelinci dalam FICA. Imunisasi III pada hari ke-28 menggunakan bahan sama dengan imunisasi II. Imunisasi IV pada hari ke-35 protein membran spermatozoa kelinci dalam garam fisiologis. Antibodi mencit diukur dengan indirect ELISA. Antibodi yang terbentuk diketahui dari nilai optical density (OD). Hasil yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA satu arah dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata nilai OD pada kelompok kontrol adalah 0,493±0,084, kelompok perlakuan I adalah 1,266 ± 0,063, kelompok perlakuan II adalah 1,146 ± 0,048, dan kelompok perlakuan III adalah 1,142 ± 0,075. Dari hasil analisis data kelompok kontrol berbeda signifikan dengan kelompok P1, P2 dan P3, kelompok P1 berbeda signifikan dengan kelompok P2 dan P3. Dari hasil yang ditunjukkan dapat diambil kesimpulan bahwa imunisasi fraksi protein membran spermatozoa kelinci dengan berat molekul 45,6 kDa; 65,8 kDa dan 73,4 kDa dapat membentuk antibodi pada mencit. Imunisasi fraksi protein membran spermatozoa kelinci dengan berat molekul 45,6 kDa paling potensial untuk pembentukan antibodi pada mencit.
Read more

Keanekaragaman morfologi bunga dan serbuk sari pada genus bougainvillea - Etik Purwandari


Tugas Akhir/Skripsi Biologi
Disusun oleh: Etik Purwandari
Universitas Airlangga
Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi

Intisari:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman morfologi bunga dan serbuk sari pada spesies Bougainvillea spectabilis, Bougainvillea glabra, Bougainvillea buttiana, Bougainvillea rosenka, dan Bougainvillea blossom. Karakter kualitatif dari morfologi bunga dan serbuk sari dianalisis secara deskriptif. Untuk karakter kuantitatif dilakukan pengukuran dengan penggaris dan secara mikroskopis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa morfologi bunga dan serbuk sarinya beranekaragam. Keanekaragaman morfologi bunga dalam genus Bougainvillea terutama pada karakter warna daun pemikat, ujung daun pemikat, panjang daun pemikat, lebar daun pemikat, bibir dari tenda bunga dengan warna motifnya, diameter bibir, panjang tonjolan lengan pada bibir permukaan atas, warna bibir permukaan bawah, warna leher, panjang daerah perlekatan leher, panjang leher keseluruhan, bentuk kepala sari, bentuk kepala putik, penyebaran papila, panjang tangkai putik, panjang bakal buah, dan lebar bakal buah. Keanekaragaman morfologi serbuk sari terdapat pada bentuk serbuk sari, tipe ukiran, pola ukiran serbuk sari, dan lapisan eksin. Berdasarkan hasil deskripsi karakter morfologi bunga dapat diketahui bahwa beberapa hasil pengukuran dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis, karena ada yang memiliki ukuran dengan kisaran yang jelas berbeda dan ada pula yang tumpang tindih.
Read more

Penentuan berat molekul protein membran spermalozos kelinci (oryctolugus ouniculus yang imunogenik - Maulidiyus Prawiro


Tugas Akhir/Skripsi Biologi
Disusun oleh: Maulidiyus Prawiro
Universitas Airlangga
Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi

Intisari:

Spermatozoa mengalami perubahan substansial selama meninggalkan testis menuju epididimis. Pada membran spermatozoa terdapat protein yang terdiri dari protein struktural dan fungsional (enzim). Protein membran diketahui mengekspresikan antigen yang dapat digunakan sebagai bahan dasar dari imunokontrasepsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berat molekul protein membran spermatozoa kelinci yang bersifat imunogenik yang dikoleksi dari testis kelinci, mengetahui berat molekul protein membran spermatozoa kelinci yang bersifat imunogenik yang dikoleksi dari kauda epididimis kelinci, dan mengetahui perbedaan berat molekul protein membran spermatozoa yang dikoleksi dari testis dan kauda epididimis kelinci. Pada penelitian ini digunakan protein membran spermatozoa dari kauda epididimis dan testis. Protein diperoleh dengan mengisolasi spermatozoa yang selanjutnya diukur konsentrasinya dan dilakukan elektroforesis dan Western blot. Penentuan berat molekul protein baik dengan metode elektroforesis dan Western blot menggunakan kurva standar Retardaction factor (Rf). Hasil dan kesimpulan pada penelitian ini menunjukkan protein membran spermatozoa yang diisolasi dari testis membentuk empat pita protein yang imunogenik yaitu pita protein dengan BM 73.4, 65.8, 45.6, dan 16.3 kDa. Pada kauda epididimis membentuk tiga pita protein yang imunogenik yaitu pita protein dengan BM 73.4, 65.8, dan 45.6 kDa. Terdapat perbedaan antara protein membran spermatozoa kelinci yang imunogenik antara dikoleksi dari testis dan kauda epididimis.
Read more

Produktivitas primer fitoplankton di waduk gondang lamongan - Muhyidin


Tugas Akhir/Skripsi Biologi
Disusun oleh: Muhyidin
Universitas Airlangga
Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi

Intisari:

Waduk Gondang terletak di kabupaten Lamongan dan mempunyai peranan penting sebagai bahan baku air minum, irigasi, persawahan, dan pariwisata. Tetapi aktivitas manusia dalam pemanfaatan waduk sangat berpotensi menurunkan kualitas air. Kualitas air dapat di tentukan salah satunya berdasarkan produktivitas primer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai produktivitas primer di Waduk Gondang Lamongan pada akhir musim hujan, dan mengetahui perbedaan produktivitas primer antar stasiun berdasarkan area pemanfaatannya. Penelitian terdiri atas pengukuran parameter fisika-kimia dan produktivitas primer yang dilakukan di lima stasiun berdasarkan area pemanfaatannya yaitu, inlet waduk, bagian tepi waduk dekat sawah, bagian tengah waduk, outlet waduk, dan tempat pangkalan perahu, dengan kedalaman 0,5 m. Parameter fisika-kimia meliputi suhu, pH, dan transparansi air yang masing-masing diukur dengan termometer, kertas pH, dan keping Secchi. Sedangkan pengukuran oksigen terlarut dan produktivitas primer dilakukan dengan metode Titrasi Winkler dan metode botol gelap botol terang. Nilai produktivitas primer yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan uji ANAVA satu arah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan produktivitas primer antar stasiun berdasarkan area pemanfaatannya, kemudian dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada level signifikan 0,05 untuk mengetahui beda nilai produktivitas primer dari dua stasiun berdasarkan area pemanfaatannya.

Berdasarkan penelitian diperoleh hasil produktivitas primer bersih fitoplankton di Waduk Gondang Lamongan pada kedalaman 0,5 berkisar antara 75,07 - 450,43 mg C/m3/hari. Hasil uji ANAVA menunjukkan tidak adanya perbedaan nilai produktivitas primer antar stasiun berdasarkan area pemanfaatannya. Hal ini disebabkan karena antar area pemanfaatannya tersebut memiliki kondisi parameter fisika-kimia yang sama, sehingga proses fotosintesis yang terjadi relatif sama, akibatnya hasil produktivitas primer antar stasiun berdasarkan area pemanfaatannya tersebut menunjukkan kesamaan. Indeks kesamaan dari parameter fisika-kimia berkisar antara 98,54% - 99,78%, hal tersebut menunjukkan bahwa semua stasiun penelitian memiliki kesamaan yang tinggi. Dari hasil penelitian perairan Waduk Gondang, Lamongan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai produktivitas primer  bersih fitoplankton antar stasiun berdasarkan area pemanfaatannya dan dikategorikan sebagai danau Moderately Oligotrophic.
Read more